Beranda | Artikel
Dialog Politik Dan Pemikiran Bersama Syaikh Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan
Kamis, 30 Oktober 2014

INTI DIALOG POLITIK DAN PEMIKIRAN BERSAMA SYAIKH SHALIH BIN FAUZAN AL-FAUZAN

DIALOG KEDUA
Bersama Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan[1]

  • Seluruh amalan tidak ada gunanya tanpa pembenahan aqidah
  • Berpecah belah bukan merupakan ajaran Dienul Islam
  • Berbilang-bilang jamaah bukan termasuk ajaran Islam, sebab Dienul Islam memerintahkan kita berada dalam satu jamaah
  • Berbilang-bilang dan beragam jamaah adalah makar setan dari jenis jin dan manusia terhadap umat ini.
  • Ba’iat tidak berhak diberikan kecuali kepada penguasa kaum muslimin yang sah.
  • Kaum muslimin yang berada dalam satu naungan pemerintahan yang berdaulat wajib memberikan bai’at hanya kepada satu orang pemimpin saja tidak dibenarkan adanya bai’at-bai’at lainnya.
  • Jika ada orang yang berusaha membangkang pemerintah yang sah dan berusaha memecah belah persatuan kaum muslimin, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan waliyul amri berserta kaum muslimin untuk memerangi pembangkangan tersebut.
  • Pedoman kaum muslimin dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta petunjuk para Salafush Shalih, baik dalam persoalan manhaj, dien dan bai’at.
  • Dakwah kepada agama Allah merupakan kewajiban. Dan memecah belah kaum muslimin bukan merupakan pedoman dakwah. Masing-masing golongan mengklaim dirinyalah yang benar dan selain mereka adalah salah. Sebagaimana kondisi yang dapat kita saksikan pada hari ini.
  • Mendirikan jamaah bukan termasuk perkara asasi dalam dakwah. Akan tetapi siapa saja yang memiliki ilmu dan hikam serta ma’rifah hendaklah bangkit berdakwah kepada agama Allah meskipun cuma seorang, itulah perkara asasi dalam dakwah.
  • Yang penting dan wajib adalah istiqomah tanpa disertai sikap berlebih-lebihan dan menyepelekan.
  • Dienul Islam melarang sikap arogan dalam dakwah
  • Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan justru akan menghasilkan sesuatu bertolak belakang dengan yang diharapkan.
  • Kekerasan dan sikap arogan memberikan dampak negatif kepada kaum muslimin.
  • Yang dituntut adalah berdakwah dengan cara yang penuh hikmah dan dengan cara yang terbaik serta bersikap lembut terhadap para mad’u (yang didakwahi).
  • Bersikap arogan, kasar dan kata-kata kotor terhadap para mad’u bukan termasuk ajaran Dienul Islam.
  • Kewajiban kaum muslimin adalah berdakwah menurut manhaj dakwah para rasul dan sejalan dengan bimbingan ayat-ayat Qur’ani.
  • Vonis kafir memiliki batasan-batasan syar’i yang perlu diperhatikan.
  • Era jahiliyah telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dibenarkan menggunakan isitilah jahiliyah secara umum.
  • Tidaklah semua orang berhak memvonis kafir atau berbicara tentang vonis kafir terhadap kelompok atau individu tertentu.
  • Masalah takfir (pengkafiran) merupakan masalah yang sangat berbahaya, tidak semua orang berhak berkomentar dalam masalah ini terhadap orang lain. Masalah tersebut merupakan hak mahkamah syar’i dan ulama yang matang dalam keilmuannya.
  • Pedoman kita dalam menyikapi penguasa muslim adalah patuh dan taat dalam perkara-perkara ma’ruf.
  • Jika penguasa memerintahkan kepada perkara maksiat maka tidak wajib diataati. Yaitu tidak boleh menuruti perkara maksiat yang diperintahkannya, ketaatan hanya boleh diberikan dalam perkara-perkara ma’ruf yang bukan maksiat.
  • Kaum muslimin diperintahkan berjihad melawan kaum kafir jika mereka telah memiliki kekuatan yang nyata. Akan tetapi jika kekuatan itu semu atau tidak nyata, maka tidak dibolehkan menjerumuskan kaum muslimin dalam bahaya yang mengakibatkan kesudahan yang tidak terpuji.
  • Bentuk nasihat kepada pemimpin kaum muslimin ialah dengan mentaati mereka dalam perkara ma’ruf, medo’akan mereka dan menjelaskan jalan yang benar serta menerangkan kesalahan yang mereka lakukan. Hendaknya nasihat itu diberikan secara rahasia antara mereka dan si pemberi nasihat (empat mata).
  • Dalam masalah merubah kemungkaran kaum muslimin terbagi tiga kelompok:
    • Yang memiliki ilmu dan kekuasaan, maka mereka berhak merubah kemungkaran dengan tangan (tindakan), seperti pemerintah dan aparat yang ditunjuk oleh pemerintah.
    • Yang memiliki ilmu tapi tidak memiliki kekuasaan. Kelompok ini hendaknya merubah kemungkaran dengan lisan.
    • Seorang muslim yang tidak memiliki ilmu dan tidak pula memiliki kekuasaan. Kelompok ketiga ini cukuplah membenci kemungkaran dalam hatinya.
  • Seyogyanya menutupi perbuatan maksiat yang dilakukan seseorang jika ia bertekad untuk meninggalkan maksiat dan menerima dakwah serta meninggalkan kesalahan yang dilakukannya.
  • Siapa saja yang beranggapan bahwa pedoman Salafus Shalih tidak layak diterapkan sekarang ini maka ia termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan.
  • Tidakalah patut seorang muslim menyibukkan diri membicarakan orang lain, memecah belah persatuan kaum muslimin dan menjatuhkan vonis terhadap kaum muslimin tanpa ilmu. Sebab perbuatan seperti itu termasuk perbuatan merusak.
  • Pelaksanaan hudud (hukuman) adalah hak penguasa kaum muslimin, tidaklah setiap orang berhak melaksanakan hudud tersebut sebab justru akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan.
  • Jika tidak ada penguasa muslim yang melaksanakannya maka cukuplah dengan menegakkan amar ma’ruf nahi muingkar sesuai dengan kemampuan serta menegakan dakawh kepada agama Allah.
  • Tidak dibolehkan melangkahi wewenang pemerintah dan merampas hak mereka.
  • Barangsiapa membunuh tanpa sandaran hukum syar’i dan kewenangan dari pemerintah, namun hanya berdasarkan pendapat akalnya saja, maka wajib ditegakkan hukum qishah atas dirinya jika ahli waris yang terbunuh menuntutnya. Kecuali jika telah ditetapkan secara syar’i bahwa yang terbunuh itu adalah seorang yang murtad dari agama Islam. Akan tetapi walau bagaimanapun ia berhak mendapat hukuman ta’zir atas kelancangannya terhadap pemerintah yang sah.

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, salah seorang anggota Lembaga Majelis Ulama di Kerajaan Saudi Arabia, dekan Ma’had Al-Aali lil Qadha cabang Universitas Islam Muhammad bin Su’ud di Riyadh dan anggota Lajnah Da’imah Urusan Fatwa, dalam dialog ini secara terbuka menegaskan urgensi aqidah dalam kehidupan manusia. Beliau menjelaskan bahwa pembenahan aqidah yang merupakan asas Dienul Islam. Hal itu tidaklah berlebihan karena syahadah Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah merupakan rukun Islam yang pertama. Dan para rasul pertama kali menyeru kaumnya untuk membenahi aqidah mereka. Sebab aqidah merupakan dasar pondasi seluruh amal ibadah dan perbuatan yang dilakukan. Tanpa pembenahan aqidah amal menjadi tiada berguna.

Dalam dialog ini beliau menjawab beberapa pertanyaan yang berkenaan dengan permasalahan yang tengah dihadapi kaum muslimin, khususnya generasi muda dalam mendapatkan pemahaman yang benar. Beliau memberikan beberapa catatan-catatan penting berkaitan dengan kelompok-kelompok Islam serta fenomena berpecah belah yang melanda kaum muslimin sekarang ini. Beliau menjelaskan hukum kelompok-kelompok yang berpecah belah tersebut menurut tinjauan nash-nash syar’i.

Beliau juga menjelaskan urgensi ba’iat bagi kaum muslimin serat batasan-batasannya dan bahaya sikap kaum muslimin meremehkan perkara tersebut. Beliau juga menjelaskan beberapa kaidah-kaidah yang berkaitan dengan dakwah di negara Islam menupun non Islam.

Tidak lupa beliau juga menerangkan pedoman kaum muslimin dalam menyikapi penguasa muslim ataupun non muslim yang berdaulat. Beliau menjelaskan keutamaan memegang teguh jama’ah kaum muslimin dan bahaya memecah belah persatuan dan mengacau balaukan jamaah mereka serta tidak lupa beliau jelaskan hukum syar’i berkaitan dengan masalah tersebut.

Kemudian beliau menyinggung tentang fenomena ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam agama. Beliau jelaskan fenomena ini serta batas-batasnya.

Diantara aspek yang terpenting yang beliau singgung dalam dialog ini adalah yang berkaitan dengan munculnya gejala vonis kafir terhadap kaum muslimin yang menjadi problematika dan tantangan besar masyarakat muslim di berbagai belahan dunia. Terlebih lagi disertai munculnya gejala-gejala negatif yang dapat disaksikan akhir-akhir ini. Yaitu ketika oknum-oknum tersebut mulai menuangkan prinsip-prinsip menyimpang mereka di lapangan. Beliau juga menjelaskan maksud diberikannya sebuah nasihat, bagaimana caranya dan fase-fasenya. Semua itu beliau jelaskan dalam jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang menyangkut permasalahan di atas yang banyak dihadapi kaum muslimin pada hari ini.

Kemudian, dialog menyinggung persoalan pelaksanaan hudud (hukuman) di kalangan masyarakat muslim, beliau menjelaskan bahwa perkara itu adalah hak dan wewenang sultan (penguasa). Tidaklah setiap orang berhak dan berwenang melaksanakan hudud sebab dapat menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Beliau juga menjelaskan sangsi yang ditimpakan atas orang yang melancangi wewenang pemerintah yang sah, sebagaimana yang dijelaskan dalam nash-nash syar’i.

Dialog tersebut sebagai berikut :

[Disalin dari kitab Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai. Penerbit Darul Haq – Jakarta, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]
_______
Footnote
[1]. Majalah Syarq Al-Ausath edisi no. 64, 65, 5466 tanggal 13-15/11/1993


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3999-dialog-politik-dan-pemikiran-bersama-syaikh-shalih-bin-fauzan-al-fauzan.html